Renungan di lembar terakhir sebuah biografi



Akhirnya selesai juga membaca biografi Steve Jobs nya Walter Isaacson. Selama membaca lembar demi lembar buku ini, saya merasa seperti membaca sebuah novel yang ditulis oleh seorang pengarang yang sangat brilian. Dan yang membuat saya takjub adalah keseluruhan ceritanya adalah real. Benar-benar dialami oleh seseorang.
Secara garis besar buku tersebut menceritakan kehadiran seorang yang bergelut dengan dunia dan dirinya sendiri. Menggunakan cara, filosofi, keyakinan (faith) yang begitu kuat sehingga mmbawa pengaruh besar terhadap orang-rang disekitarnya, bahkan mungkin kita sepakat bahwa pengaruh besar itu berdampak pada dunia.
Yang menggelitik saya, meski seluruh halaman buku ini mendeskripsikan mengenai perjalan hidup seorang pendiri perusahaan yang sempat menempati posisi sebagai perusahaan terbesar di dunia (meski tidak sampai satu hari) serta bagaimana ia berusaha menemukan jati dirinya, menaklukkan rival-rivalnya satu demi satu. Tetapi sejak awal yang terbayang dalam pikiran saya adalah kepergiannya. Bagaimana dunia harus menerima kepergiannya yang begitu cepat di usia yang ke 58. Tepat ketika kita begitu terlena dan tersihir oleh hasil-hasil kreasi tim yang dimotorinya seperti iPOD, iPhone, iPAD dsb.
Barangkali sebuah percakapan yang dikutip Walter Isaacson yang bisa menggambarkan tentang Steve Jobs sebagai individu sekaligus tokoh dunia ada pada bagia akhir buku yang berjudul coda (ekor).
Pada suatu sore yang panas, saat merasa kurang sehat Jobs duduk di taman belakang rumahnya dan membayangkan kematian. Dia bercerita tentang pengalamannya di India empat puluh tahun silam, saat dia belajar agama Buddha, pandangannya tentang reinkarnasi, serta transedental spiritual. “Aku hampir setengah mempercayai Tuhan,” ujarnya. “Hampir sepanjang hidupku, aku merasa bahwa pasti ada hal yang lebih penting mengenai keberadaan kita dari apa yang sekedar apa yang terlihat oleh kita.”
Jobs mengakui bahwa saat dia menghadapi kematian, dia mungkin terlalu melebih-lebihkan keganjilan yang dia rasakan untuk mempercayai adanya kehidupan setelah kematian. “aku senang membayangkan bahwa ada yang akan tetap hidup setelah aku mati,” jelasnya. “Agak aneh rasanya aku menyimpan semua pengalaman ini, mungkin berikut sedikit kebijaksanaan, dan hal-hal tersebut kemudian pergi. Jadi aku benar-benar ingin percaya bahwa sesuatu akan tetap hidup, dan mungkin itulah kesadaran yang tersisa.”
Dia membisu beberapa saat, “Namun, sebaliknya, mungkin kematian seperti tombol ondan off”, tambahnya. “Klik, dan akhirnya, engkau akan pergi untuk selamanya.”
Dia terdiam lagi, dan senyumnya sedikit mengembang. “Munkin itulah sebabnya aku tidak pernah meletakkan tombol on autau off pada piranti Apple.”

0 komentar: