Selalu saja, musibah demi musibah menghampiri seorang muslim. Baik musibah tersebut menimpa fisiknya, hartanya, atau keluarganya, semua itu adalah ketetapan atau takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika musibah tersebut menimpa seseorang, tidak sepantasnya ia marah kemudian berburuk sangka kepada Allah dan mengeluhkannya kepada manusia.
Allah subhanahu wa ta’ala maha pengasih kepada seluruh manusia, sehingga apapun yang Allah berikan apapun bentuknya musibah, itu merupakan bentuk kasih sayangNya. Karena itu, tidak sepantasnya seseorang berkeluh-kesah kepada manusia dengan musibah tersebut, mengeluh kepada pihak yang memiliki sedikit sifat rahmat atas apa yang ia dapat dari Allah yang maha luas rahmatNya.
Ingatlah kasih sayang Allah jauh lebih luas dan tidak ada tandingannya dibandingkan siapa pun, sehingga tidak sepantasnya seseorang berharap kepada manusia. Allah maha mengetahui apa yang terbaik bagi manusia, karena ilmu Allah sangat luas meliputi segala sesuatu, sehingga apa yang Allah takdirkan sudah pasti terdapat kebaikan lahir dan batin dan akan diketahui jika seseorang memikirkan hikmah di balik takdir Allah tersebut. Allah pun maha bijaksana yang dengan kebijaksanaanNya. Dia memilihkan yang terbaik bagi hamba-hambaNya.
Maka yang terbaik ketika musibah itu menghampiri adalah bersabar, sehingga kita mencari kebaikan di balik setiap musibah. Sebab sikap sabar yang diupayakan seorang hamba akan membuahkan pertolongan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
 إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 153)
Kebersamaan Allah dalam ayat ini bukanlah zatNya. Akan tetapi, pengetahuan dan pertolonganNya menyertai orang-orang yang sabar.
Kesabaran seseorang ketika tertimpa musibah dibuktikan ketika lisan dan hatinya mengucapkan “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ . الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ . أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ .
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. (Yaitu) yang jika ditimpa musibah mereka mengucapkan, ‘innaa lillahi wa inna ilaihi raji’uun’. Mereka itulah yang mendapat berkah yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al Baqarah: 155-157)
Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata,
“Allah ta’ala menjadikan kalimat ini [maksudnya, ‘inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’] sebagai jalan keluar bagi orang yang sedang diuji, dengan disertai makna-makna yang mengandung berkah dalam kalimat tersebut. Pada lafaz ‘inna lillahi’, terdapat tauhid, pengakuan penghambaan kita kepada Allah dan pengakuan atas kerajaanNya. Adapun lafaz ‘wa inna ilaihi raji’un’, terdapat pengakuan bahwa kita akan binasa, lalu akan bangkit dari kubur, dan meyakini bahwa segala perkara akan kembali kepadaNya sebagaimana segala perkara tersebut adalah milikNya.”
Selain itu, termasuk buah kesabaran adalah ganjaran atau pahala yang sangat melimpah dari Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)
Karena itu, Allah tidak akan menyia-nyiakan orang-orang yang bersabar karenaNya.
Adapun orang-orang yang tidak bersabar ketika datang musibah, maka merugilah mereka. Mereka mendapat kerugian ketika tertimpa musibah dan jauh lebih rugi ketika tidak memanfaatkan kejadian musibah tersebut untuk mendulang pahala di sisi Allah.
Musibah yang datang kepada seseorang bukan tanda bahwa ia rendah di sisi Allah. Bahkan, datangnya musibah bisa menjadi tanda Allah menghendaki kebaikan bagi hamba tersebut. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, maka Dia akan menimpakan cobaan kepadanya.” (HR. Bukhari No. 5645)
Selain itu, datangnya musibah bisa membuahkan keuntungan yang lebih besar. Andaikan seorang hamba ditimpa musibah kemudian ia ridho dengan takdir Allah itu, maka Allahridho kepadanya. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila Allah mencintai satu kaum, niscaya Allah akan menguji mereka. Lalu, siapa saja yang ridho, maka Allah akan ridho kepadanya. Siapa saja yang murka, maka Allah akan memurkainya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, disahihkan Al Albani dalam Silsilah Shahihah [1/227])
Subhanallah. Sesuatu yang secara kasat mata terlihat tidak menyenangkan–seperti musibah menimpa–justru banyak kebaikan yang bisa didapat oleh seorang hamba darinya. Datangnya musibah pun adalah proses bergugurnya dosa-dosa seorang hamba. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seorang muslim tertimpa lelah, sakit, gundah, sedih, gangguan, duka hingga duri yang menusuknya, kecuali pasti akan Allah ampuni dosa-dosanya dengan adanya hal tersebut.” (HR. Bukhari No. 5641)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Senantiasa seorang muslim, laki-laki dan perempuan, akan mendapat cobaan pada dirinya, anaknya ataupun hartanya sampai menghadap Allah tanpa membawa dosa. (HR. Tirmidzi, Al Hakim, Ahmad, disahihkan Al Albani dalam Silsilah Shahihah [5/349])
Oleh karena itu, hendaknya setiap muslim senantiasa bersabar sampai Allah memberi karuniaNya berupa surga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَجَزَاهُم بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا
“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) Surga dan (pakaian) sutera.” (QS. Al Insan: 12)
Ya Rabb, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan muslim.
Sumber: Buletin Jum’at Dakwah Islam, nomor 37, tahun ke-2, 17 Muharram 1436 H/30 Januari 2015 M.

Inilah zaman yang oleh nabi disebut sebagai zaman fitnah, zaman yang semua sistem kenabian telah dijurkirbalikkan
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا
وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kalian melakukan amal shalih sebelum datangnya berbagai fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada waktu pagi seorang masih beriman, tetapi di sore hari sudah menjadi kafir; dan pada waktu sore hari seseorang masih beriman, kemudian di pagi harinya sudah menjadi kafir.” [HR. Muslim no. 169, Tirmidzi no. 2121, dan Ahmad no. 7687.]
Ahmad Thomson menyebutkan tiga macam pola dasar pengelompokan sosial. Pertama, masyarakat pedalaman sederhana yang hidup selaras dengan alam namun tidak mengikuti syari’at kenabian dalam peribadatan. Kedua,masyarakat Islam yang selaras dengan alam dan mengikuti syari’at kenabian. Ketiga,masyarakat kafir yang hidup tidak selaras dengan alam semesta dan sengaja menolak syariat Sang Pencipta.
Masyarakat pertama perlahan semakin menghilang seiring laju perkembangan teknologi dan informasi, walaupun eksistensi mereka akan tetap ada namun mayoritas kita tidak berada di kelas itu.
Adapun jenis kelompok kedua, gambaran yang paling ideal terjadi pada generasi terbaik umat Islam; sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Mereka bisa selaras fitrahnya dengan lingkungan dan pada saat yang sama juga menjadikan keselerasannya dengan alam semesta dalam bingkai ibadah kepada pencipta alam semesta. Pada kehidupan mereka terdapat sistem hidup yang mengandung kecukupan dan keberkahan, materil dan non materil..
Kelompok kedua ini menjadikan dunia sebagai ladang menanam amal untuk memetik kebahagiaan yang sesungguhnya di akhirat. Karenanya mereka tidak mengeksplorasi alam semesta dengan semangat ketamakan dan eksploitasi, melainkan agar sarana menegakkan agama ini makin mudah dan efektif.
Mereka tidak merusak hutan atau menambang isi bumi secara brutal yang di kemudian hari menyisakan persoalan bagi anak cucu mereka. Sebaliknya langit dan bumi mendatangkan keberkahan dalam semua yang mereka lakukan. Syariat kenabian yang mereka jadikan sebagai dasar pijak dan petunjuk arah, telah membuat tujuan dari semua yang mereka lakukan menjadi terang dan jelas. Karenanya mereka kaya dan makmur dengan sebenar-benarnya. Dunia telah mengikutinya, bahkan berada dalam genggaman tangannya. Sementara hatinya tetap bebas untuk tunduk dalam kendali syariat pencipta dunia itu.
Kepada kelompok kedua ini Allah jadikan Iblis tak berdaya untuk menggodanya. Badai api fitnah pun padam tak kuat untuk menyala. Bahkan Allah jadikan musuh-musuh mereka lumpuh tak berdaya.
Sebagian tertunduk lesu tanda menyerah kalah dan sebagiaannya ’terpaksa’ masuk dalam barisan mereka karena pribadi mereka terlalu mulia untuk ditentang. Demikianlah kemuliaan yang Allah anugerahkan kepada kelompok manusia yang hatinya selaras dengan semesta dan jiwanya tunduk kepada syariat Sang Pencipta.
Adapun masyarakat ketiga, inilah jenis masyarakat yang paling mendominasi dunia; masyarakat yang bermusuhan dengan alam semesta dengan beragam aktivitas eksploitasi alam -juga manusianya- secara liar, dimana semua itu dilakukan untuk memenuhi nafsu mereka dan dalam rangka menentang syari’at pencipta mereka. Inilah masyarakat kafir yang kehidupan mereka tunduk di bawah kendali Iblis melalui sistem Dajjal dan kaki tangannya.
Inilah era di mana kita hidup, era yang tanpa sadar menyeret kaum Muslimin untuk masuk dalam pusaran permainan mereka untuk selanjutnya mustahil bisa keluar darinya. Pola hidup masyarakat kelas ini telah menjadi sesuatu yang sistemik, berlaku secara global dan menjangkau seluruh bidang kehidupan manusia. Politik, sosial, ekonomi, budaya, militer, pemikiran dan peradaban, semuanya berada dalam kendali sistem kufur ini.
Inilah zaman yang oleh nabi disebut sebagai zaman fitnah, zaman yang semua sistem kenabian telah dijurkirbalikkan, norma dan nilai kebenaran dirusak tanpa ada yang tersisa. Sangat berat hidup di era ini; era dajjal, era dimana seluruh masyarakat dunia telah buta, yang karenanya si mata satu merasa pantas menjadi raja. Lantas, apa yang dapat kita perbuat?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Sebaik-baik manusia pada masa terjadinya kekacauan adalah seorang laki-laki yang memegang tali kendali kudanya di belakang musuh Allah. Ia membuat mereka gentar dan mereka juga membuatnya gentar. Atau seorang laki-laki yang mengasingkan diri di daerah pedalaman, dengan menunaikan hak Allah atas dirinya.” [HR. Al-Hakim dan Abu ‘Amru Al-Dani. Dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 698]
Pilihan pertama sangat cocok untuk penduduk negeri yang Allah karuniakan ibadah jihad. Adapun bagi kaum Muslimin yang berada di wilayah ‘damai’, maka pilihan kedua adalah solusi terbaik; ‘uzlah dengan tetap menunaikan hak Allah atas dirinya. Uzlah yang hak Allah tetap terpenuhi adalah ‘uzlah berjamaah’, membentuk komunitas yang memiliki kesamaan tujuan; menegakkan agama ini hingga bisa mewujudkan masyarakat yang selaras dengan alam semesta dan tetap tunduk kepada syari’at Allah swt. Wallahu a’lam bish shawab.*

Mari tak bosan membaca, “Allahumma shalli ‘ala Muhammad, wa ‘ala Ali Muhammad; kama shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala Ali Ibrahim..”

“Ya RasulaLlah”, begitu suatu hari para sahabat bertabik saat mereka menatap wajah beliau yang purnama, “Ceritakanlah tentang dirimu.”
Dalam riwayat Ibn Ishaq sebagaimana direkam Ibn Hisyam diKitab Sirah-nya; kala itu Sang Nabi ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab dengan beberapa kalimat. Pembukanya adalah senyum, yang disusul senarai kerendahan hati, “Aku hanyasanya doa yang dimunajatkan Ibrahim, ‘Alaihissalam..”
Doa itu, doa yang berumur 4000 tahun. Ia melintas mengarungi zaman, dari sejak lembah Makkah yang sunyi hanya dihuni Isma’il dan Ibundanya hingga saat 360 berhala telah menyesaki Ka’bah di seluruh kelilingnya. Doa itu, adalah ketulusan seorang moyang untuk anak-cucu. Di dalamnya terkandung cinta agar orang-orang yang berhimpun bersama keturunannya di dekat rumah Allah itu terhubung dan terbimbing dari langit oleh cahayaNya.
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ العَزِيزُ الحَكِيمُ
“Duhai Rabb kami, dan bangkitkan di antara mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri; yang akan membacakan atas mereka ayat-ayatMu, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Baqarah [2]: 129)
“Kata adalah sepotong hati”, ujar Abul Hasan ‘Ali An Nadwi, maka doa adalah setetes nurani. Ia disuling dari niat yang haru dan getar lisan yang syahdu. Ia dibisikkan dengan tadharru’ dan khufyah; dengan berrendah-rendah mengakui keagungan Allah dan berlirih-lirih menginsyafi kelemahan diri. Dalam diri Ibrahim, kekasih Ar Rahman itu, doanya mencekamkan gigil takut, gerisik harap, dan getar cinta.
Maka dari doa itu kita belajar; bahwa yang terpenting bukan seberapa cepat sebuah munajat dijawab, melainkan seberapa lama ia memberi manfaat. Empat ribu tahun itu memang panjang. Tapi bandingkanlah dengan hadirnya seorang Rasul yang tak hanya diutus untuk penduduk Makkah, tapi seluruh alam; menjadi rahmat bukan hanya bagi anak-turunnya, tapi semesta; membacakan ayatNya bukan hanya dalam kata, tapi dengan teladan cahaya; mensucikan jiwa bukan hanya bagi yang jumpa, tapi juga yang merindunya; dan mengajarkan Kitab serta Hikmah bukan hanya tuk zamannya, tapi hingga kiamat tiba.
Dari doa itu kita belajar; bahwa Allah Maha Pemurah; tak dimintaipun pasti memberi. Maka dalam permohonan kita, bersiaplah menerima berlipat dari yang kita duga. Allah Maha Tahu; maka berdoa bukanlah memberitahu Dia akan apa yang kita butuhkan. Doa adalah bincang mesra, agar Dia ridhai untuk kita segala yang dianugrahkanNya.
Dalam syukur pada 2 orang yang disebut ‘Uswatun Hasanah’ itu, kita teringat shalawat yang diajarkan Muhammad ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam dengan rendah hati; mengenang bapak para Nabi yang atas doanyalah beliau diutus. Maka tiap kebaikan yang dipancarkan Muhammad hingga hari kiamat, Ibrahim memegang sahamnya.
Dan kita yang rindu pada Sang Nabi untuk disambut di telaganya, diberi minum dengan tangannya, dinaungi bersamanya, dan beroleh syafa’atnya; mari tak bosan membaca,“Allahumma shalli ‘ala Muhammad, wa ‘ala Ali Muhammad; kama shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala Ali Ibrahim..”

Padahal terhadap orang yang bersalah pun tidak patut lisan ini mencaci, bahkan sekedar menyebarkan keburukannya. Kita hanya boleh menunjukkan keburukan dan tidak dianggap menggunjing terhadap para mujahirin (bukan muhajirin, ya… sekedar mengingatkan agar tidak salah mengucap), yakni orang melakukan maksiat secara terang-terangan. Lebih-lebih menyertai maksiat terang-terangannya tersebut dengan ajakan kepada orang lain untuk melakukan hal yang sama. Termasuk mujahirin adalah orang yang melakukan maksiat secara diam-diam, tetapi kemudian ia menceritakan secara terbuka kepada orang lain. Ia menyingkap sendiri rahasianya tanpa ada maksud syar’i, misal meminta nasehat ulama dalam rangka bertaubat. Itu pun ia tidak perlu menceritakan maksiatnya secara gamblang dan lengkap.
Tentang mujahirin, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut, yang mana dia berkata, “Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.” Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lalu, apakah yang seharusnya kita lakukan jika lisan terlanjur pernah mencaci dan bahkan mungkin tidak hanya sekali sepanjang hidup ini? Atas orang-orang yang pernah kita caci, do’akanlah mereka. Do’akan, semoga itu menjadi jalan kebaikan dan kafarah (penghapus dosa) baginya. Adapun bagi kita yang mencacinya, mendo’akan mereka dengan sungguh-sungguh juga sebagai permohonan kita kepada Allah Ta’ala agar tidak tergolong orang-orang yang fasik serta dijauhkan dari menjalani perbuatan buruk yang dikerjakan oleh orang yang kita caci.
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a kepada kita:
اللَّهُمَّ فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ سَبَبْتُهُ فَاجْعَلْ ذَلِكَ لَهُ قُرْبَةً إِلَيْكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ya Allah, siapa saja di antara mukminin yang aku caci, jadikanlah hal itu sebagai sarana yang mendekatkan dirinya kepada-Mu di hari Kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di dalam riwayat Muslim yang lainnya, terdapat do’a dengan redaksi yang berbeda:
اللَّهُمَّ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ فَأَيُّ الْمُسْلِمِينَ لَعَنْتُهُ أَوْ سَبَبْتُهُ فَاجْعَلْهُ لَهُ زَكَاةً وَأَجْرً
“Ya Allah, aku hanyalah seorang manusia. Jika ada seorang muslim yang aku laknat atau aku maki, maka jadikanlah hal tersebut sebagai pensuci dosa baginya dan limpahan pahala untuknya.” (HR. Muslim).
Nah, pernahkah dalam hidup kita, meskipun hanya sekali mencaci maki seseorang atau meneruskan cacian seseorang terhadap orang lain? Adakah kita melakukan itu? Padahal mencaci seorang mukmin adalah kefasikan. Maka, apakah yang sudah kita lakukan jika dalam hidup kita pernah mencaci seseorang? Inilah saatnya mendo’akan mereka, bermunajat kepada Allah Ta’ala sepenuh kesungguhan. Semoga melalui do’a itu Allah Ta’ala muliakan orang yang pernah kita caci dengan kebaikan akhirat dan ampunan dosa. Adapun bagi kita, do’a itu semoga menjadi perisai agar kita tidak terjatuh pada keburukan yang sama.
Sesungguhnya keburukan dan kemaksiatan itu harus kita benci. Tetapi mencaci maki orang yang berbuat dosa adalah hal yang berbeda. Agama ini telah melarangnya, kecuali terhadap para mujahirin.
Di dalam riwayat lainnya, kita juga mendapati do’a untuk orang yang tersakiti oleh tutur kata kita, padahal ia tidak layak mendapatkan tutur kata semacam itu. Semoga catatan ringkas ini bermanfaat.

Dosa kecil dan kesalahan (duniawi) biasanya disebut juga dengan sayyi’ah, karena ia membuat pelakunya sedih dan resah, merasa tidak nyaman, merasa bersalah
kita sudah tidak asing mendengar kata dosa.  Ada beberapa istilah dalam Al-Quran untuk menyebut dosa atau kemaksiatan, diantaranya itsm (إثم), dzanb (ذنب), ‘ishyan (عصيان),huub (حوب), sayyi-ah (سيئة), dan khathi-ah (خطيئة). Istilah-istilah ini sama-sama merujuk kepada pengertian dosa dan poelanggaran, namun masing-masing punya kekhasan makna.
Itsm (الإثم) dan dzanb (الذنب) biasanya sama-sama diartikan dosa. Secara bahasa, الذنب makna aslinya ekor. Dosa disebut demikian karena ia merupakan akibat sesuatu perbuatan, yakni datang di belakang sesuatu. Atau, karena ia merupakan sesuatu yang dianggap kotor akibat akhirnya, seperti umumnya ekor binatang.
Adapun الإثم makna aslinya adalah lambat/buth-u (البطء) dan telat/ta-akhkhur (التأخّر). Dosa disebut demikian karena orang yang berdosa itu lambat dari kebaikan dan telat darinya.
Sedangkan ‘ishyan (العصيان), biasanya diartikan kedurhakaan atau maksiat. Makna aslinya adalah berpisah, seperti anak untuk yang tidak mau lagi ikut induknya karena dia sudah tidak lagi menyusu/disapih. Orang bermaksiat diserupakan dg ini krn ia tdk mau mngikuti petunjuk Allah, memisahkan diri, dan berbuat semaunya sendiri.
Kemudian huub (الحوب), makna aslinya adalah hardikan untuk mencegah untuk melakukan sesuatu. Dosa disebut demikian karena pada dasarnya ia merupakn sesuatu yang dilarang, atau karena pelakunya sadar bahwa hal itu sebenarnya dilarang.
Adapun sayyi’ah (السيئة) adalah kebalikan dari hasanah (الحسنة), aslinya berakar kepada kata suu’(السوء). Makna aslinya adalah segala hal yang membuat seseorang sedih dan berduka, baik urusan duniawi maupun ukhrawi. Dosa kecil dan kesalahan (duniawi) biasanya disebut juga dengan sayyi’ah, karena ia membuat pelakunya sedih dan resah, merasa tidak nyaman, merasa bersalah.
Terakhir, khothi-ah (الخطيئة), yang aslinya berakar dari kata khotho’ (الخطأ). Makna aslinya adalah berbelok dari arah yang semestinya, alias meleset atau tidak tepat sasaran. Khoti’ah dansayyi’ah mirip, karena sering dipakai untuk mnyebut dosa kecil atau kekeliruan-kekeliruan.
Tapi umumnya khoti’ah digunakan untuk mnyebut hal-hal secara tidak sengaja dilakukan. Misal, ingin memanah kijang tapi meleset terkena manusia. Maka, kebalikan dari khotho’adalah showab (الصواب), yakni pas, kena, atau tepat sasaran.*/Alimin Muhtar , dari berbagai sumber

Dua tahun lalu, tepatnya tahun 2012, peneliti University of St. Andrews di Inggris mengungkapkan sebuah hasil penelitian bahwa ketika fisik perempuan tersentuh oleh pria, suhu kulit tubuh perempuan akan meningkat, khususnya di bagian wajah dan dada.
Riset berjudul “The Touch of a Man Makes Women Hot” dan dipublikasikan di LiveScience, 29 Mei 2012 itu menunjukkan, sentuhan dari pria terbukti mampu membakar gairah seks wanita.
“Perempuan menunjukkan peningkatan suhu ketika mereka terlibat dalam kontak sosial dengan laki-laki,” ungkap salah satu peneliti dari University of St. Andrews, Amanda Hahn.
Hasil riset menemukan, wajah biasanya akan memanas ketika kita sedang mengalami tekanan (stres), takut, atau marah. Emosi lain juga memengaruhi perubahan suhu tubuh.
Peneliti, melakukan eksperimen terhadap sejumlah laki-laki dan perempuan di Inggris. Mereka dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberi rangsangan dengan memperlihatkan foto perempuan heteroseksual, sambil diberi sentuhan pada beberapa bagian tubuh seperti lengan, telapak tangan, wajah, dan dada, dengan menggunakan sinar probe. Sedangkan pada kelompok lain, responden mendapat sentuhan nyata dari pasangan (sebagai experimenter) pada bagian tubuh yang sama.
Ketika merasakan sentuhan tersebut, perempuan akan mengalami peningkatan suhu kulit sampai 10 derajat Celcius. Efeknya dianggap tidak cukup besar, karena bagian tubuh yang disentuh hanya lengan atau telapak tangan (bagian dada dan wajah paling banyak mengalami perubahan). Lonjakan suhu menjadi tiga kali lebih besar ketika experimenter-nya pria.
Namun ketika pria menyentuh bagian dada dan wajah wanita, suhu tubuhnya meningkat lebih panas 0,3 derajat Celsius. Perubahan suhu terbesar terjadi pada wajah.
Namun, tim peneliti tidak dapat mengatakan apakah perubahan tersebut dapat ditangkap dengan jelas oleh mata telanjang, atau apakah hal itu dapat terdeteksi dengan sentuhan.
Bagi pasangan lelaki dan perempuan yang sedang pacaran atau bertunangan, inilah alasan dan sebab mengapa Anda tak perlu bersentuhan dengan bukan mahram.
Islam melarang berpacaran, berpelukan dan bersentuhan dengan lawan jenis sebelum menikah karena sentuhan melahirkan gerakan otak, kemaluan dan nafsu. Ini sesuai dengan pesan agama Islam dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Tidak pernah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya terhadap kaum pria daripada fitnah para wanita.[HR Al-Bukhari no 5096]
Setelah tahu bahaya bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram, sebaiknya memilih menikah saja, bukan pacaran.*

Rep: Muhsin
Editor: Cholis Akbar

Beberapa minggu ini  penduduk dunia virtual (netizen) heboh dengan fenomena gunung pelangi dan warna-warni  (rainbow mountain). Semula, kabar adanya gunung pelagi itu hanya hoax. Namun belakangan, fenomena itu makin terungkap setelah berbagai tulisan dan video amatir menambahi fakta baru.
Adalah Danaxia Landform fenomana lanskap yang ditemukan di sebelah tenggara dan barat daya China,  terdiri dari tebing-tebing lengkung warna-warni. Tepatnya berada di Kota  Zhangye, di Provinsi Gansu, China.
The Zhangye Danxia Geological Park Nasional (China: 张掖 丹霞 国家 地质 公园),  ini mencakup area seluas 510 kilometer persegi (200 sq mi). Sebelumnya taman provinsi dan daerah pemandangan, itu menjadi geopark nasional pada November 2011.
Gunung pelangi ini dinilai sangat menakjubkan karena bukit dan lembahnya terdiri dari lapisan warna merah, biru, hijau zamrud, coklat, dan kuning. Menariknya, di tempat itu tak ditemukan tumbuhan atau hewan apapun karena kondisi tanahnya yang tandus.
Menurut Telegraph, warna-warni menakjubkan perbukitan tersebut berasal dari batuan pasir merah dan mineral yang terbentuk sejak periode Kapur, tepatnya 24 juta tahun lalu.
Formasi batuan tersebut kemudian mengalami pergeseran lempeng tektonik yang juga membentuk pegunungan Himalaya. Hujan dan angin yang menerpa daerah itu selama jutaan tahun juga ikut andil dalam membentuk ceruk, lembah, dan pola warna Zhangye Danxia. Konon gunung ini akan menampilkan pola warna yang berbeda-beda, tergantung kondisi cuaca.
Daerah ini dengan cepat menjadi objek wisata yang populer bagi kota  Zhangye. Sejumlah trotoar dan jalan telah dibangun guna mendorong pengunjung menjelajahi formasi batuan yang menakjubkan, utamanya setelah  UNESCO telah menetapkannya  dalam Daftar Warisan Dunia pada pertemuan ke-34 yang diadakan di Brasilia, ibu kota Brasil, pada tanggal 1 Agustus 2010.
Saat pertama kali Danaxia Landform diketahui khalayak melalui foto-foto yang beredar di dunia maya, banyak yang menganggap pola pelanginya merupakan hasil rekayasa komputer.
Apalagi belakangan banyak orang merilis video amatir saat usai mengunjungi  Danxia Landform, kini, tempat ini menjadi salah satu objek wisata paling dicari di China yang menghasilkan pendapatan cukup tinggi bagi penduduk Zhangye.
The Zhangye Danxia landform juga dikenal sebagai eye candy dari Zhangye. Banyak seniman mengagumi karya ini laksana lukisan sempurna di atas kanvas.
Yang tak kalah menakjubkan, belakangan fenomena ini dikaitkan dengan salah satu surat dalam Al-Quran, tepatnya dalam Surat Al Fathir [35] ayat 27 di mana Allah Subhanahu Wata’ala telah lama mengungkap rahasia adanya gunung yang berwarna-warni.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُّخْتَلِفاً أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.” [QS: Al Fathir [35]: 27]
Al-Quran telah menjelaskan fenomena alam tersebut 14 abad yang lalu, bahhkan sebelum para Sahabat Rasulullah datang dan berdakwah ke China.
Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah salah satu bukti terpenting yang memungkinkan kita mengetahui keberadaan Allah.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilaat  [41]: 53).
Semoga informasi yang ada dalam Al-Quran semakin menambah keyakinan kita  akan kebenaran Al-Quran.*

SECARA historis, kata ‘Firaun’ merupakan gelar bagi penguasa Mesir di era Nabi Musa. Namun, secara hakikat, Firaun ini bisa juga menjelma menjadi suatu sifat yang jika tidak diwaspadai bisa merasuk kedalam diri siapapun, terutama para pemegang kebijakan alias penguasa, tidak terkecuali penguasa dalam skala kecil, yakni kepala rumah tangga atau bahkan siapa pun yang membiarkan kesombongan bersarang dalam hati.
Oleh karena itu, memahami Al-Qur’an dengan senantiasa mentadabburinya merupakan satu hal pokok yang setiap Muslim mesti memprioritaskannya.
أَسۡبَٰبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ فَأَطَّلِعَ إِلَىٰٓ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّي لَأَظُنُّهُۥ كَٰذِبٗاۚ وَكَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِفِرۡعَوۡنَ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ وَصُدَّ عَنِ ٱلسَّبِيلِۚ وَمَا كَيۡدُ فِرۡعَوۡنَ إِلَّا فِي تَبَابٖ ٣٧
“Demikianlah dijadikan Firaun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS. Mukmin [40]: 37).
Di antara keburukan perilaku Firaun adalah kegemarannya menyiksa orang lemah.
فَأۡتِيَاهُ فَقُولَآ إِنَّا رَسُولَا رَبِّكَ فَأَرۡسِلۡ مَعَنَا بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ وَلَا تُعَذِّبۡهُمۡۖ قَدۡ جِئۡنَٰكَ بِ‍َٔايَةٖ مِّن رَّبِّكَۖ وَٱلسَّلَٰمُ عَلَىٰ مَنِ ٱتَّبَعَ ٱلۡهُدَىٰٓ ٤٧
“Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka.” (QS. Thahaa [20]: 47).
وَقَالَ ٱلۡمَلَأُ مِن قَوۡمِ فِرۡعَوۡنَ أَتَذَرُ مُوسَىٰ وَقَوۡمَهُۥ لِيُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَيَذَرَكَ وَءَالِهَتَكَۚ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبۡنَآءَهُمۡ وَنَسۡتَحۡيِۦ نِسَآءَهُمۡ وَإِنَّا فَوۡقَهُمۡ قَٰهِرُونَ ١٢٧
Firaun bahkan melakukan tindakan tidak manusiawi secara membabi buta. “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.” (QS. Al-A’raaf [7]: 127).
Andaikata Firaun ini hidup di abad modern, maka bukan saja dia telah melanggar Hak Azasi Manusia, tetapi dia juga telah menjadi manusia biadab. Bagaimana mungkin bayi pun mesti dihukum mati hanya karena bayi itu keturunan Bani Israil.
Ayat ini menggambarkan kepada umat Islam bahwa Firaun itu orangnya ringan berbuat jahat. Dan, parahnya ia menganggap kejahatannya itu sebagai kebaikan dan keindahan yang tentu saja diyakininya benar.
Dalam konteks lebih spesifik, kisah ini seakan memberikan peringatan secara tidak langsung, jangan sampai seorang Muslim memiliki sifat seperti ini, yakni memandang baik keburukan atau kesalahan yang dilakukan.
“Ah, gapapa ambil saja, toh cuman 100 juta. Dari miliaran rupiah itu, 100 juta gak ada apa-apanya,” demikian mungkin mereka yang pada awalnya terseret pada praktik korupsi, hingga pada akhirnya dianggaplah korupsi itu tidak apa-apa asal tidak banyak.
Dalam konteks kaum remaja, keburukan yang dipandang baik di antaranya adalah menjustifikasi dirinya tetap baik, meski tidak bisa lepas dari praktik pacaran yang secara hukum jelas haramnya.
“Ah…gakpapa pacaran, toh aku kan cuman jalan berdua saja, gak pernah pegang-pegang atau macam-macam. Lagian aku tau kok batasannya.” Argumen tersebut membuat seorang remaja terus saja berpacaran.
Na’udzubillahi min dzalik, kita mesti berusaha mawas diri dari sifat diri yang seperti itu. Memandang baik, aman dan pantas apa yang dalam pandangan Allah itu tidak main-main dosanya.
Kemudian, sifat Firaun berikutnya adalah gemar membuat tipu daya. Kejahatan atau keburukan yang dipandang indah di atas sebenarnya terjadi karena kebiasaannya suka membuat tipu daya.
إِنَّ فِرۡعَوۡنَ عَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَجَعَلَ أَهۡلَهَا شِيَعٗا يَسۡتَضۡعِفُ طَآئِفَةٗ مِّنۡهُمۡ يُذَبِّحُ أَبۡنَآءَهُمۡ وَيَسۡتَحۡيِۦ نِسَآءَهُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ مِنَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٤
“Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash [28]: 4).
Dalam keseharian, kita mesti mawas diri, jangan sampai menjadi sosok manusia yang memandang remeh orang lain, sehingga terseret pada kesombongan dan kesewenang-wenangan.
Kemudian, pastikan bahwa keberadaan kita dalam keluarga, kantor (tempat bekerja), dan masyarakat bahkan pemerintahan adalah sebagai pemersatu, bukan pemecah belah, pengadu domba dan pengompor suasana (provokator kerusakan), sehingga menimbulkan gejolak sosial dan perpecahan yang bisa menelan korban.
Dari sini dapat kita pahami dengan mudah, hikmah diperintahkannya umat Islam untuk saling berkasih sayang, mencintai sesama laksana mencintai diri sendiri dan tidak membiarkan siappaun hidup dalam kelaparan.
Lantas, bagaimana jika kebanyakan orang berbuat jahat dan suka membuat tipu daya yang menyebabkan kerugian hidup kita?
Biarkan saja. Toh Allah pasti akan mengawasi dan membalas tipu daya mereka. Seperti yang Allah tegaskan;
وَإِذۡ يَمۡكُرُ بِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِيُثۡبِتُوكَ أَوۡ يَقۡتُلُوكَ أَوۡ يُخۡرِجُوكَۚ وَيَمۡكُرُونَ وَيَمۡكُرُ ٱللَّهُۖ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلۡمَٰكِرِينَ ٣٠
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (QS. Al-Anfal [8]: 30).
La haula wala quwwata illa billah, maka jangan sekali-kali terbesit dalam hati untuk melakukan intrik (tipu daya). Karena pada akhirnya, semua intrik hanya membuat diri seseorang sibuk untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya hanya mengantarkan dirinya pada kerugian dan kehinaan.
فَأَرَادُواْ بِهِۦ كَيۡدٗا فَجَعَلۡنَٰهُمُ ٱلۡأَسۡفَلِينَ ٩٨
“Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 98).
Oleh karena itu, mari benahi diri, buang sifat iri-dengki. Kalau memang ada orang lebih baik dalam suatu bidang dan kita merasa kalah, jangan membenci orang tersebut. Belajar kepadanya jauh akan membuat kita terhormat. Karena kelebihan orang itu didapat dengan usahanya yang konsisten dan sabar. Jadi, lebih baik cek diri sendiri apakah sudah konsisten dan sabar?
Jika diamanahi sebagai penguasa, maka jangan main marketing tanpa bukti. Lebih baik bersikap sebagaimana mestinya dalam memimpin, seperti mensejahterakan rakyat, mencerdaksan mereka dan memudahkan akses kesehatan mereka.
Insha Allah tanpa harus sikut sana sikut sini, tuduh sana tuduh sini, rakyat akan memilih kembali dengan suka hati. Dengan demikian untuk apa menjadi manusia yang hidup di zaman modern, tapi perilaku kayak Firaun di zaman baheula, yang pada akhirnya lihai membuat intrik tapi tidak mampu membuat karya bermanfaat bagi rakyat.*
Rep: Admin Hidcom
Editor:
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !