PENGERTIAN QIYAS
1. Secara bahasa
Qiyas berasal dari bahasa arab yaitu قياس yang artinya hal mengukur, membandingkan, aturan. Ada juga yang mengartikan qiyas dengan mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan qiyas sebagai mengukur dan menyamakan.
2. Secara istilah
Pengertian qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Definisi lain dari qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Menurut istilah ushul fiqh, sebagaimana dikemukakan Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada illat antara keduanya. Ibnu Subki mengemukakan dalam kitab Jam’u al-Jawami, qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam illat hukumnya menurut mujtahid yang menghubungkannya.
Selain pengertian di atas, banyak lagi pengertian qiyas lainnya diantaranya menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama diantara keduanya dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
Berdasarkan pengertian-pengertian qiyas yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan pengertian qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dalam al-Qur’an dan sunnah dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
B. DALIL QIYAS.
Dalam menempatkan qiyas sebagai dalil untuk menishbathkan hukum, ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama menerima dan menggunakan qiyas sebagai dalil dalam urutan keempat, yaitu sesudah al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Banyak ayat al-Qur’an yang bisa dijadikan sebagai dasar perintah melakukan qiyas, salah satunya adalah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa : 59)
Dalam ayat di atas terdapat urutan tentang pengambilan hukum. Yaitu mentaati Allah (hukum dalam al-Qur’an), mentaati rasul (hukum dalam Sunnah) dan mentaati pemimpin (hasil ijma’ para ulama). Sedangkan kata terakhir dalam ayat tersebut adalah
(Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul) berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat perbedaan.
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
Artinya: Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.(QS. al-Hasyr : 2)
Pada ayat di atas terdapat perkataan:
(Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan), maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Hal itu berarti qiyaskanlah keadaanmu kepada keadaan mereka.
Dalam hadits dari ibnu Abbas menurut riwayat an- Nasa’I. Nabi berkata: “Bagaimana pendapatmu bila bapakmu berhutang, apakah engkau akan membayarnya?” dijawab oleh si penanya (al-Khatasamiyah), “Ya, memang”. Berkata nabi, “hutang terhadap Allah lebih patut untuk dibayar”.
Hadits di atas adalah tanggapan atas persoalan si penanya yang bapaknya bernazar untuk haji tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan haji. Ditanyakannya kepada nabi dengan ucapannya, “Bagaimana kalau saya yang menghajikan bapak saya itu?”. Keluarlah jawaban nabi seperti yang tersebut di atas.
Dalam hadits itu nabi memberikan taqrir (pengakuan/penetapan) kepada sahabatnya yang menyamakan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Bahkan nabi menambahkan bahwa hutang kepada Allah yaitu haji, lebih patut untuk dibayar.
Sementara kalangan yang menolak qiyas juga mengemukakan beberapa alasan untuk memperkuat pendapat mereka, diantaranya:
- Bahwa qiyas dibangun atas dasar zanni atau praduga semata.
- Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran.
C. RUKUN DAN SYARAT QIYAS
Berdasarkan defenisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena illat serupa, maka rukun qiyas ada empat macam, yaitu:
1. al-Ashl.
Ashl adalah masalah yang telah ditetapkan hukumnya dalam al-Qur’an ataupun Sunnah. Ia disebut pula dengan maqis ‘alaih (tempat mengqiyaskan) dan maha al-hukm ijal-musyabbah bihm yaitu wadah yang padanya terdapat hukum untuk disamakan dengan wadah yang lain.
Adapun syarat-syarat ashl adalah:
- Hukum ashl adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan
- Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
- Ashl itu bukan merupakan furu’ dari ashl lainnya
- Dalil yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum
- Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
- Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.
2. Furu’
Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan).
Adapun syarat-syarat furu’ adalaha:
- Tidak bersifat khusus, dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada furu’
- Hukum al-ashl tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas
- Tudak ada nash yang menjelaskan hukum furu’ yang ditentukan hukumnya
- Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan daripada furu’
3. Hukum ashl
Illat yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu. Dengan persamaan inilah baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (ashl) karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dengan furu’.
Adapun syarat-syarat hukum al-Ashl adalah:
- Illatnya sama pada illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya
- Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas
- Hukum furu’ tidak mendahului hukum ashl
- Tidak ada nash atau ijam’ yang menjelaskan hukum furu’ itu.
4. Illat
Illat secara bahasa berarti sesuatu yang bisa merubah keadaan, misalnya penyakit disebut illat karena sifatnya merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit. Menurut istilah, sebagaimana dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf, illat adalah suatu sifat pada ashl yang mempunyai landasan adanya hukum .
Adapun cara untuk mengetahui illat adalah melalui dalil-dalil al-Qur’an atau Sunnah, baik yang tegas maupun yang tidak tegas, mengetahui illat melalui ijma’, dan melalui jalan ijtihad.
Adapun syarat-syarat illat adalah:
- illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak
- illat harus kuat
- harus ada korelasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi illat
- sifat-sifat yang menjadi illat yang kemudian melahirkan qiyas harus berjangkauan luas, tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu
- tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil
D. MACAM-MACAM QIYAS
1. Dari segi kekuatan illat
- Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashl karena kekuatan illat pada furu’.
- Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashl karena kekuatan illatnya sama
- Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashl meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
2. Dari segi kejelasan illatnya
- Qiyas jali, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashl
- Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash.
3. Dari segi keserasian illat dengan hukum
- Qiyas muatssir, yaitu qiyas yang illat penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma’
- Qiyas mulaim, qiyas yang illat hukum ashl dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
4. Dari segi dijelaskan atau tidaknya illat dalam qiyas itu
- Qiyas ma’na, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashl dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ itu seolah-olah ashl itu sendiri
- Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashl.
- Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat.
About author: Unknown
Cress arugula peanut tigernut wattle seed kombu parsnip. Lotus root mung bean arugula tigernut horseradish endive yarrow gourd. Radicchio cress avocado garlic quandong collard greens.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: