Padahal terhadap orang yang bersalah pun tidak patut lisan ini mencaci, bahkan sekedar menyebarkan keburukannya. Kita hanya boleh menunjukkan keburukan dan tidak dianggap menggunjing terhadap para mujahirin (bukan muhajirin, ya… sekedar mengingatkan agar tidak salah mengucap), yakni orang melakukan maksiat secara terang-terangan. Lebih-lebih menyertai maksiat terang-terangannya tersebut dengan ajakan kepada orang lain untuk melakukan hal yang sama. Termasuk mujahirin adalah orang yang melakukan maksiat secara diam-diam, tetapi kemudian ia menceritakan secara terbuka kepada orang lain. Ia menyingkap sendiri rahasianya tanpa ada maksud syar’i, misal meminta nasehat ulama dalam rangka bertaubat. Itu pun ia tidak perlu menceritakan maksiatnya secara gamblang dan lengkap.
Tentang mujahirin, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut, yang mana dia berkata, “Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.” Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut, yang mana dia berkata, “Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.” Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lalu, apakah yang seharusnya kita lakukan jika lisan terlanjur pernah mencaci dan bahkan mungkin tidak hanya sekali sepanjang hidup ini? Atas orang-orang yang pernah kita caci, do’akanlah mereka. Do’akan, semoga itu menjadi jalan kebaikan dan kafarah (penghapus dosa) baginya. Adapun bagi kita yang mencacinya, mendo’akan mereka dengan sungguh-sungguh juga sebagai permohonan kita kepada Allah Ta’ala agar tidak tergolong orang-orang yang fasik serta dijauhkan dari menjalani perbuatan buruk yang dikerjakan oleh orang yang kita caci.
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a kepada kita:
اللَّهُمَّ فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ سَبَبْتُهُ فَاجْعَلْ ذَلِكَ لَهُ قُرْبَةً إِلَيْكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ya Allah, siapa saja di antara mukminin yang aku caci, jadikanlah hal itu sebagai sarana yang mendekatkan dirinya kepada-Mu di hari Kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Ya Allah, siapa saja di antara mukminin yang aku caci, jadikanlah hal itu sebagai sarana yang mendekatkan dirinya kepada-Mu di hari Kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di dalam riwayat Muslim yang lainnya, terdapat do’a dengan redaksi yang berbeda:
اللَّهُمَّ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ فَأَيُّ الْمُسْلِمِينَ لَعَنْتُهُ أَوْ سَبَبْتُهُ فَاجْعَلْهُ لَهُ زَكَاةً وَأَجْرً
“Ya Allah, aku hanyalah seorang manusia. Jika ada seorang muslim yang aku laknat atau aku maki, maka jadikanlah hal tersebut sebagai pensuci dosa baginya dan limpahan pahala untuknya.” (HR. Muslim).
“Ya Allah, aku hanyalah seorang manusia. Jika ada seorang muslim yang aku laknat atau aku maki, maka jadikanlah hal tersebut sebagai pensuci dosa baginya dan limpahan pahala untuknya.” (HR. Muslim).
Nah, pernahkah dalam hidup kita, meskipun hanya sekali mencaci maki seseorang atau meneruskan cacian seseorang terhadap orang lain? Adakah kita melakukan itu? Padahal mencaci seorang mukmin adalah kefasikan. Maka, apakah yang sudah kita lakukan jika dalam hidup kita pernah mencaci seseorang? Inilah saatnya mendo’akan mereka, bermunajat kepada Allah Ta’ala sepenuh kesungguhan. Semoga melalui do’a itu Allah Ta’ala muliakan orang yang pernah kita caci dengan kebaikan akhirat dan ampunan dosa. Adapun bagi kita, do’a itu semoga menjadi perisai agar kita tidak terjatuh pada keburukan yang sama.
Sesungguhnya keburukan dan kemaksiatan itu harus kita benci. Tetapi mencaci maki orang yang berbuat dosa adalah hal yang berbeda. Agama ini telah melarangnya, kecuali terhadap para mujahirin.
Di dalam riwayat lainnya, kita juga mendapati do’a untuk orang yang tersakiti oleh tutur kata kita, padahal ia tidak layak mendapatkan tutur kata semacam itu. Semoga catatan ringkas ini bermanfaat.
0 komentar: