Ketujuh
PENGERTIAN IBADAH DALAM ISLAM[1]
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.
Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak
definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain
adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu
tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah
(kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan
diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang
zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling
lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf
(takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal
(ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir,
tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah
qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad
adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak
lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan
badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ
مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ
الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku.
Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan
lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan
manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza
wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan
tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka
kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia
adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa
yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan
barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang
disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan
Allah).
B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus
dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur
ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap
dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.”
[Al-Anbiya’: 90]
Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan
rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah
kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang
beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5].
Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’,
maka ia adalah mukmin muwahhid.”
C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah
yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang
tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak)
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha
illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah
dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah
konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut
wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan
bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ
عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya
kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi
Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih
hati.” [Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada
Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak
beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali
dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”
Sebagaimana Allah berfirman:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia
mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun
dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang
kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan
mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada
Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari
hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]
Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah
kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping
beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan
melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa
beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia
telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka,
orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia
telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna
(mempunyai kekurangan).
4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata
cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya
tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di
dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena
perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan
perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan
kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan
Rasul-Nya.
D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan
diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para
Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya
dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku
perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau
beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina
dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau
mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam
kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah
yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya.
Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan
membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju
kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan
ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya.
Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah.
Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula
hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan
kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan
jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan
subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik
kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah.
Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali
dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan
kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan
kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia
rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah
kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah
kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka,
barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni
ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah
sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang
dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan
seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah
kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada
kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia
meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah
hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling
dicintainya daripada yang lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang
untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah
dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban
penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima
dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya
kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan
kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka
dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap
dan takut hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab
utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa
Neraka.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet.
Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd,
al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin
Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul
Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq
Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal.
161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali
muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin
yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.
0 komentar: